Comments

Cerpen: Aku Mau Pulang

Itulah yang aku pikirkan setelah dari jam 9 pagi berada di rumah sakit ini. Ya Allah ingin sekali aku menangis menghadapi semua ini sendirian - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/aku-mau-pulang.html

Cerita Bersambung: Prolog

Sepasang kaki mungil berlarian kesana kemari. Sebentar-sebentar menuju pintu salah satu bangsal. Menempelkan telinganya pada pintu yang selalu tertutup untuknya - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/prolog.html

Cerpen: To Be Your Sister

Pintu kamarku menutup keras. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benakku. Sedih, kesal, bingung, tidak terima, tidak siap, dan semua rasa yang tidak menyenangkan lainnya - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/to-be-your-sister.html

Allah is the Only Guide

When the way is cloudy - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/you-never-alone.html

Allah itu Lebih Dari Cukup

Ketika kamu tidak punya siapa-siapa selain Allah, Allah itu lebih dari cukup :)

Kamis, 26 Juli 2012

Aku Mau Pulang



Aku mau pulang!

Itulah yang aku pikirkan setelah dari jam 9 pagi berada di rumah sakit ini. Ya Allah ingin sekali aku menangis menghadapi semua ini sendirian. Aku yang hanya berniat mendaftarkan diriku untuk operasi hari senin, malah dibuat menunggu kamar yang kosong di sabtu yang mendung ini. Ah, aku kesal, dan yang terjadi sekarang aku menunggu sahabatku datang untuk ‘menjemputku’.

“Rubi, maaf ya, aku terlambat datang kemari. Kau tidak apa-apa?” akhirnya sahabatku datang juga.
“Fir, sebaiknya kita cepat pergi dari sini! Tadi seorang perawat mengizinkan aku kabur dari sini” aku separuh tersenyum, separuh panik.

Dan kamipun bergegas pergi dari rumah sakit. Aku benci keadaan ini, aku terjebak sebagai pasien dengan status mondok di rumah sakit ini. Sedangkaan aku tak membawa persiapan apapun dan orang tuaku belum datang. Dan, siapa yang mau melewatkan malam tanpa kawan di rumah sakit? Dan akupun kembali ke kos.
Ah, bahagianya aku bisa kembali ke kosan. Aku segera mengerjakan tugas-tugas kampusku yang menumpuk. Namun entah mengapa hatiku tidak tenang. Dan benar saja firasatku. Nomor yang tidak dikenal menghubungi ponselku.

“Halo,” sapaku.
“Mbak, ada dimana sekarang?” seperti dugaanku, itu suara perawat dari rumah sakit.
“Di kos, Bu. Saya kan belum membawa barang-barang saya, nanti saya segera kembali ke rumah sakit,” kataku berbohong. Siapa yang mau kembali setelah kabur dari rumah sakit malam-malam begini.
“Gimana toh mbak? Statusnya sudah mondok kok malah ke kos, tadi dkternya sudah datang, cepet kemari.”

Aku hanya berpura-pura akan kesana. Tentu saja aku tidak akan melakukannya. Aku sudah memutuskan untuk tidak menginap di rumah sakit malam ini. Dan saat hampir tengah malam, ponselku berdering lagi. Kali ini suara perawat itu semakin terdengar kesal. Ia bilang dokter sudah tiga kali ke kamarku dan tidak menemukanku disana.

Oh, ini menyebalkan, dan aku segera menyiapkan tasku dan bergegas ke rumah sakit dengan penjaga kosku. Aku tergesa-gesa menuju kamarku yang agak sulit diingat. Sesampainya di kamar rumah sakit, aku mengirim pesan kepada perawat tersebut bahwa aku telah datang.

Tak lama kemudian, dokterpun datang.
“Mbak, ada alergi?” tanya dokter tersebut.
“Tidak,” jaabku.
“ada riwayat asma?”
“tidak”
Dokter tersebut terus menulis dalam form yang ia pegang.
“Baik. Mbak, hari senin nanti, mbak akan dibius total, dan ada resiko-resiko tentunya dalam setiap tindakan. Resiko bisa terkena jantung, paru, atau kematian, namun sangat jarang terjadi,” kata dokter tersebut dengan tenang.

KEMATIAN? Oh, aku benar-benar tidak habis pikir, apa yang harus kulakukan? Aku sangat takut, dan aku ingin kembali ke kos. Aku diminta menandatangani form persetujuan operasi dari rumah sakit. Dan dokter tersebut pergi. Aku ingin menangis, aku tidak mau memikirkan soal kematian walau pikiran itu terus menghantuiku.

Kulirik jam ditanganku, sudah hampir tengah malam. Kurasa dokter tak akan berkunjung lagi malam ini. Dan akupun meluncur kembali ke kosan dengan taksi. Begitu tiba di kos, aku segera mematikan ponselku agar tak lagi dihubungi perawat. Aku segera berusaha tidur, walau ternyata sangat sulit ntuk lelap sempurna.[]


Aku seorang mahasiswi kedokteran, dan betapa aku syok saat aku terdiagnosis tumor jinak, fibroadenoma mammae. Ya, aku tau ini bukan kanker, aku tau ini jinak, namun aku sebagai manusia yang mendengar dirinya terkena tumor, aku lemas. Aku sendiri sangat mengerti bahwa tumor ini tidak berbahaya. Namun entah mengapa aku sangat terpukul. Bayangkan, dari seringnya insidensi penyakit ini, mengapa aku termasuk yang mengalaminya?

Saat aku memutuskan untuk melakukan operasi pengangkatan tumor, sebagian hatiku mengatakan ya, namun sebagian lagi takut. Aku belum pernah di rawat di rumah sakit, apalagi dioperasi. Aku membayangkan diriku sendiri dibius total dan tak sadarkan diri lagi untuk selama-lamanya. Oh tidaaaak!!!! Aku takut memikirkannya. Dan.. sesungguhnya seharusnya aku berpikir positif.[]


Minggu malam di rumah sakit, aku telah disini bersama orang tuaku. Aku semakin tak karuan. Hatiku bergemuruh dan aku berusaha ceria walau hatiku cemas. Hei! Besok aku bener-benar akan di operasi! Ah aku ingin menghentikan semua ini rasanya. Dan yang kubutuhkan adalah menyemangati diriku sendiri. Aku teringat temanku yang juga pernah mengidap tumor yang sama, dia hidup sampai sekarang. Kawan ayahku, anak kawan ayahku, bahkan sepupuku, yang juga mengalami hal yang sama dan telah menghadapi operasi, hidup hingga saat ini.

Aku memanfaatkan waktu kosong di rumah sakit dengan mengakses internet. Aku mencari pengalaman orang-orang yang yang pernah mengalami hal serupa denganku. Dan ternyata mereka semua baik-baik saja sampai saat ini. Aku mulai bersemangat, walau masih cemas.

Malam ini para perawat mulai memberiku obat, obat untuk membersihkan saluran cerna. Akupun diminta untuk puasa dari malam itu hingga operasi nanti. Saat tidur, aku berharap tidak bermimpi apa-apa, takut kalau-kalau malah mimpi buruk. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi semua ini.

Dan esokpun tiba. Jadwal operasiku jam 9 pagi. Perawat mulai memasang infus di tangan kananku. Ini pertamakalinya pula aku dipasang infus. Ya Allah, aku mencoba mengambil sisi positifnya, suatu saat nanti aku akan melakukan hal ini pada pasienku, dan sekarang aku merasakannya sendiri terlebih dahulu.  Perawat datang lagi, ia melakukan injeksi subkutan di tangan kananku. Dan...sakiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!! ingin teriak, namun aku hanya berusaha tegar. Yaampun pantas saja bayi menangis saat diberi imunisasi BCG! Suntikan subkutan sangat memilukan!

Pukul 9 kurang, aku sudah memakai baju operasiku. Hatiku semakin tak karuan. Aku harap semua ini akan berakhir ketika tiba-tiba tumorku bisa hilang sebelum operasi ini terjadi. Oh, dan nampaknya itu tidak terjadi. Kasurku mulai dibawa perawat ke instalasi bedah sentral. Aku ingin menangis melihat orang tuaku, kuharap ini bukan yang terakhir kalinya aku menatap mereka.

Waktu terus berjalan dan aku mulai memakai penutup kepala. Dan aku memasuki ruang operasi. Dokter-dokter itu baru saja melakukan operasi juga terhadap orang lain. Aku menatap ruang ini, besar, cukup dingin, terlalu banyak alat yang membuatku merasa sedang di penjagalan. Rasanya ingin kabur saat ini juga! Namun aku berusaha setenang mungkin. Aku mulai berdzikir dan berdoa kepada Allah tanpa henti. Detak jantungku mulai terdengar lewat monitor. Dokter-dokter sudah berada di sekelilingku.

“Siap ya, dik. Kita mulai..” seorang dokter dibelakangku berkata sambil menyiapkan penutup hidung disampingku.
Dan....[]


Mataku tiba-tiba terbuka. Aku masih di ruang operasi.
“Ya, sudah selesai..” dokter-dokter silih berganti mengatakan hal itu.
Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, dan.... sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt sekali!!!!! Oh ini sungguh menyakitkan! Aku sadar, saat bius tadi dibuka, aku merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana tidak, tubuhmu disayat-sayat! Tentu sangat menyakitkan. Tak kuasa lagi, akupun menangis.[]

Itulah yang selalu aku ingat saat malas datang melanda. Allah telah menyelamatkanku, Allah memberiku kesempatan untuk tetap hidup. Dan aku bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam proses pembelajaranku. Aku yang dulu tidak mau menjadi dokter, kini dengan pengalaman ini, bukan tidak mungkin aku akan menjadi dokter bedah. J


Rabu, 25 Juli 2012

NEED HELP!!!

Assalamualaikummm :D

Guys, siapapunn, yang ngerti bagaimana cara jadiin bloh kita ada giniannyaaa

pliss bgt yg ngerti tolong ajarin yaa hhe, makasiii :D

Selasa, 24 Juli 2012

Prolog

Sepasang kaki mungil berlarian kesana kemari. Sebentar-sebentar menuju pintu salah satu bangsal. Menempelkan telinganya pada pintu yang selalu tertutup untuknya. Kemudian kembali ia berlari ke arah kursi tunggu. Duduk manis disamping bibi dan neneknya.

Jari-jari telunjuknya bersatu, saling berputar, dan kembali bersatu. Matanya sembab. Bibinya merangkul pundak kecil gadis itu. Dan ia mulai berbalik memeluk bibinya sambil terisak. 

"Semua akan baik-baik saja," kata bibinya. Yang tak tahu harus berkata apa lagi. Sudah terlalu sering ia berkata begitu.

Seorang dokter keluar dari bangsal yang tadi dihampiri gadis kecil itu. Bukan pertama kali ini terjadi. Dan untuk kesekian kalinya pemandangan seperti ini dialami gadis itu bersama bibi dan neneknya. Juga seperti biasanya, si bibi mulai menanyakan keadaan ibu si gadis kecil, yang terbaring di bangsal rumah sakit tersebut.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya si bibi.

Gadis kecil itu berbalik dan mulai menatap dokter tersebut. Matanya basah akan airmata. Entah mengapa dari semalam si gadis selalu menangis. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, walau tahu ibunya sakit parah, ia tidak menangis. Suasananya terlalu berbeda, walau nampak sama, tapi terasa berbeda.

"Kami minta maaf. Sudah saatnya..." dokter tersebut tidak dapat melanjutkan perkataannya. Dan sebenarnya kata-kata tersebut sudah dimengerti oleh bibi si gadis kecil.

Air mata jatuh dari sudut mata bibi  dan nenek si gadis. Sedangkan gadis kecil itu kembali terisak dipelukan bibinya. Tak ada teriakan histeris. Hanya ada air mata dan suara sesunggukan si gadis kecil. Ya, mereka sudah mempersiapkan diri. Seperti yang dikatakan dokter tadi, sudah saatnya...selama ini memang hanya tinggal menunggu waktu.

Tiba-tiba...

"Amora, kita pulang sekarang juga!" pria bertangan besar menarik lengan gadis kecil yang masih bersedih atas kematian ibunya.
"Phil, apa yang kau lakukan?" si bibi menarik lengan satunya gadis kecil itu.
"Phil, tidakkah kau ingin melihat istrimu untuk yang terakhir kalinya?" si nenek bicara.
"Diam nenek tua! Aku tidak ingin melihatnya. Aku hanya ingin mengambil anakku."

Bibi si gadis kecil menatap sinis pria tersebut, "kau berani menganggapnya anak? Apa yang akan kau lakukan padanya, hah?"

"Itu jelas bukan urusanmu!" seru pria itu sambil menggendong gadis kecilnya. Ia berjalan cepat menghindari adik dan ibu dari istrinya yang berusaha mengejar dan meneriakinya.

"Bibiiii.... Neneeeekkk...." tangis gadis kecil itu seraya tangannya berusaha meraih bibi dan nenek yang berusaha mengejar ayahnya.

Namun pria itu terlalu cepat untuk dikejar. Mereka tak lagi mampu mengejarnya...


Intro


For The Love Of A Daughter 



Four years old with my back to the door
All I could hear was the family war
Your selfish hands always expecting more 
Am I your child or just a charity ward
You have a hollowed out heart
But it's heavy in your chest
I try so hard to fight it
But it's hopeless
Hopeless
You're hopeless
Oh father,
Please father
I'd love to leave you alone
But I can't let you go
Oh father
Please father
Put the bottle down
For the love of a daughter
Oh
It's been five years
Since we've spoken last,
And you can't take back
What we never had
Oh, I can be manipulated
Only so many times
Before even I love you
Starts to sound like a lie
You have a hollowed out heart
But it's heavy in your chest
I try so hard to fight it


But it's hopeless,
Hopeless
You're hopeless
Oh father
Please father
I'd love to leave you alone
But I can't let you go
Oh father
Please father
Put the bottle down
For the love of a daughter
Don't you remember
I'm your baby girl
How could you push me out of your world
Lie to your flesh and your blood
Put your hands on the ones that you swore you loved
Don't you remember
I'm your baby girl
How could you throw me right out of your world
So young when the pain had begun
Now forever afraid of being loved
Oh father
Please father
I'd love to leave you alone
But I can't let you go
Oh father
Please father
Put the bottle down
For the love of a daughter
For the love of a daughter

NEVER GIVE UP!!!


you are never alone


Cukup Bagiku Allah :)


You Never Alone


ANATOMY of A BELIEVER




Allah Maha Adil- Because Allah Knows BEST


To Be Your Sister


BRAK!!!


Pintu kamarku menutup keras. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benakku. Sedih, kesal, bingung, tidak terima, tidak siap, dan semua rasa yang tidak menyenangkan lainnya. Aku tahu benar sikapku salah. Tapi entah mengapa, aku sering melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatiku. Dan sudah pasti ayahu kecewa padaku.

“Rady!” ayahku memanggil. “Kau sudah berjanji akan melakukannya kali ini. Kau tidak bisa selamanya melarikan diri.”

Aku tahu itu. Tapi aku tidak siap. Belum siap.

“Kau tidak akan siap kalau kau tidak mencobanya sekarang,” seru ayahku seolah telah membaca pikiranku.

Pada akhirnya aku membuka pintu kamarku. Terlihat lelak paruh baya yang berdiri di depan kamarku, ayahku, yang sudah berulang kali memintaku mengunjungi rumah nenek. Tidak, tidak hanya mengunjungi nenekku. Ke rumah nenek berarti menemui seorang pembunuh. []


Mobil kami melaju cepat menuju pedesaan tempat nenekku tinggal. Pepohonan berbaris di sepanjang jalan. Aku membuka jendela mobil, menghirup udara pegunungan yang begitu segar. Angin diluar bertiup dengan sunyi, sesunyi isi mobil ini. Tak sepatah katapun keluar dari mulut ayah maupun aku.

Aku begitu gugup. Tapi aku yakin ayahku lebih gugup menghadapi hari ini. Mengingat bagaimana masa lalu keluargaku, masa laluku. Jika ada pilihan yang lebih baik, aku yakin beliau tidak akan memilih tindakan beresiko ini. Namun aku yakin, beliau berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku sudah cukup dewasa untuk melakukan pertemuan ini.

Dan rumah mungil dengan halaman dan kebun yang begitu luas mulai terlihat. Perlahan mobil terparkir di depan rumah mungil milik nenekku. Seorang gadis kecil melompat dari pangkuan nenekku yang sedang duduk di teras rumahnya. Gadis itu berambut ikal, dikuncir dua, dan aku tak sanggup melihat wajahnya.

“Rady, kau tahu apa yang harus kau lakukan,” ucap ayahku sebelum keluar dari mobil.

 Dan gadis itu menghambur ke pelukan ayahku saat beliau turun dari mobil.[]


“Sudah lama sekali,” ucap nenekku seraya memelukku erat. Aku balas memeluknya. Ya, sudah terlalu lama aku tidak bertemu nenek. Nenek terlihat jauh leih tua dari sejak terakhir aku melihatnya.

“Aku merindukan nenek,” kataku jujur. Kami melepaskan pelukan dan saling tersenyum.

“Hai, Rady,” panggil gadis kecil dalam gendongan ayahku. Barang sedikitpun aku tidak mampu menatapnya.

Beruntungnya, ayahku menyadari kekakuan sikapku. Dan sebelum hal buruk terjadi, ayah segera mengajak kami menuju kebun. Seperti saat aku kecil, setiap berkunjung, nenekku selalu menyiapkan makan siang bersama di kebun, sambil menikmati alam katanya. Tak ada yang berbeda, kecuali tak ada ibuku disana.

Makan siang ini tak berbeda seperti saat bertahun-tahun lalu. Tidak pernah sepi. Selalu ada tawa, canda, juga cerita. Tak berbeda, kecuali, bukan lagi aku yang bercerita dan membuat ayah dan nenek tertawa. Tapi gadis kecil itu. Dan hatiku terasa hampa. Sepi.

“Saat aku bilang pada teman-temanku aku punya kakak laki-laki, mereka semua iri padaku. Soalnya mereka kebanyakan tidak punya kakak, atau kakak mereka perempuan,” gadis itu bercerita penuh semangat. Dan sangat mampu membius perhatian ayah dan nenekku. “Lalu aku bilang, karena aku punya kakak laki-laki, dia akan selalu melindungiku,” lanjutnya sambil tersenyum. Kemudian sunyi.

Aku merasakan mata gadis itu menatapku yang tak bicara ataupun mengekspresikan sesuatu.

“Ayah, kenapa Rady diam saja dari tadi?” tanyanya. Ayahku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Rady, kau kok gak bicara apapun? Kau tak suka aku ya?" gadis itu menatapku tajam.

 Aku tetap tak berani memandang pemilik suara mungil itu. Tak juga berkata sepatah katapun. Dan ayah mulai memandangku dengan wajah marah.

“Rady, Lila mengajakmu bicara. Kenapa kau diam saja?” suaranya terdengar menahan amarah.

Dan aku mulai memberanikan diri memandang wajah mungil disana. Wajah yang begitu membuatku kembali membencinya. Wajah yang perlahan berhasil membuatku mengurungkan niat untuk mulai menyayanginya. Dia... terlalu mirip ibuku. Begitu miripnya hingga mengingatkanku pada kejadian itu. 

Delapan tahun silam...
Rady kecil berumur sepuluh tahun. Sudah cukup tua usia Ibunya untuk hamil lagi saat itu. Rady kecil begitu bahagia ketika mengetahui ibunya hamil. Artinya ia akan memiliki adik, seperti teman-temannya yang lain. Nantinya akan ada yang bisa ia ajak bermain, berbagi mainan, ataupun berbagi kue. Dan ketika ia tahu kemungkinan adiknya adalah perempuan, ia begitu bahagia. Pasti adiknya akan mirip dengan ibunya, pikirnya. Hingga tiba saat ibunya harus melahirkan, lendir bercampur darah mulai terlihat, dan ibunya mulai merasa perutnya sakit. Mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Saat ibunya memasuki kamar bersalin, Rady kecil terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi. Berjam-jam menunggu diluar sendirian, karena ayahnya menemani ibunya di dalam kamar bersalin. Ia menutup wajahnya dan hanya bisa berdoa. Dan suara tangispun terdengar. Adiknya telah lahir. Ia segera bangkit dan mendekati pintu kamar bersalin ibunya. Lama, dan membuatnya mulai takut. Kemudian menangis...ketika akhirnya ayahnya keluar dan segera memeluknya. Ibunya meninggal.....


Tanganku mulai mengepal, juga menahan air mata. Aku merasakan sentuhan hangat tangan nenek. Berusaha menenangkanku yang terhanyut dalam perasaan saat Lila, adikku, lahir. Terbayang kebencianku pada Lila saat mengetahui ibu meninggal setelah melahirkan gadis kecil itu. Kebencian itu  membuatku gila, yang sangat ingin mengakhiri hidup adik kecil yang dulu sangat kunantikan. Yang tergila adalah ketika aku nekat membawa pisau mendekati Lila, dan ayahnya melihat kejadian itu. Dan segera setelah itu Lila dibawa pergi ke rumah nenek.  Hidup terpisah dariku mungkin memang yang terbaik bagi Lila. Juga bagiku.

“Rady! Inikah yang dilakukan seorang kakak pada adik yang delapan tahun tak pernah ditemuinya? Sampai kapan kau tidak dewasa seperti ini?” ayah membentakku.

Tiba-tiba air mataku meleleh. Aku berlari ke dalam rumah nenek dan melupakan makanan di meja makan. Aku berusaha untuk menahan tangisku. Aku tahu saat ini ayah sangat marah padaku. Dan aku mendengar ucapan Lila di luar.

"Ayah, begitu bencikah Rady padaku? Aku gak tahu salahku. Bahkan aku ga diberi waktu untuk tahu apa salahku. Aku gak pernah minta ibu melahirkanku. Tapi aku ga bisa memilih ibuku sendiri...” suara Lila diiringi tangis yang begitu membuatku merasa seperti orang tak berperasaan.

"Lila.." ayah terdengar menenangkan Lila.

"Ayah, ini gak adil. Apa Rady marah karena aku menyebabkan ibu meninggal? Tapi Rady masih bisa bertemu ibu. Sedangkan aku tidak pernah...hiks..hiks..apa dia pernah  memikirkan perasaanku? Aku sangat sayang pada Rady, Ayah.."

Nenek menghampiriku. Mengelus bahuku dari belakang. Dan aku hanya bisa tertunduk menangis. Entah apa yang aku rasakan. Apakah aku benar-benar membenci Lila? Apakah aku sedih mendengar ucapannya tadi? Aku tidak mengerti.

Aku bangkit, “Nek, aku minta waktu untuk sendiri... Aku akan berjalan-jalan di luar,” kataku lembut.[]


Langkahku perlahan menyusuri jalan dan mulai menjauh dari rumah nenek. Memikirkan sikapku. Aku tahu tak seharusnya aku begini. Aku telah berjanji akan merubah sikapku pada Lila. Tapi semua rencana itu hancur seketika saat meilhat wajanya. Seakan dia itu ibu. Dan itu membuatku semakin berat untuk memulai menyayangi Lila. Semakin berat menganggap pembunuh itu sebagai adikku.

Duk. Bola plastik muncul dihadapanku. Dan satu dari kerumunan anak kecil di sebuah lapangan menghampiriku. Ia tampak ragu ingin mengambil bola itu. Aku berjongkok dan memberikan bola tersebut pada bocah itu.

“Kau mirip temanku,” ujarnya, “ tapi lebih mirip ayah temanku,” lanjutnya sambil menatapku.

“Benarkah?”

Bocah itu mengangguk yakin. “Namanya Lila. Katanya ia punya kakak laki-laki, mungkin dia mirip sepertimu. Dan Lila bilang, kakaknya baik dan pasti akan menolong Lila jika sesuatu yang buruk terjadi,” ujarnya. Lalu berlari kembali kepada teman-temannya.

Aku berdiri kembali. Memikirkan kata-kata yang diucapkan teman Lila barusan. Betapa ironisnya perkataan teman Lila dengan apa yang sesungguhnya kulakukan. Aku tidak menolong Lila, aku malah mungkin meluakainya. Sangat kejamkah aku? Aku semakin tidak mengerti apa yang kurasakan terhadap Lila.

Tanpa terasa aku telah jauh melangkah kembali menuju rumah nenek. Dan entah apa yang terjadi, ada kerumunan orang di sebuah persimpangan jalan. Dan aku tak berhasil untuk pura-pura tidak tahu. Kudekati kerumunan itu, ternyata kecelakaan. Begitu ramainya sampai aku sulit melihat korbannya. Samar-samar terlihat tangan kecil terkepal. Anak kecil? Aku segera meneroboskan tubuhku ke dalam kerumunan itu dan... LILA! []


Kecelakaan itu layaknya sebuah cerita dalam drama, sebuah lirik dalam lagu, sebuah kisah yang tak pernah benar-benar nyata. Sunyi. Tapi ini nyata. Dingin. Hening. Namun tidak sepi.

Selayaknya kisah, yang tak pernah nyata dalam hidupmu. Namun ketika ia sungguh hadir, begitu nyata, kau bahkan mampu berbuat berkebalikan dengan kata hatimu. Atau malah, kau akan mengetahui perasaanmu yang sesungguhnya.

Aku tidak mampu mendengar suara ayah maupun nenek, tidak juga sentuhan mereka. Hanya saja aku tahu mereka ada, dan mungkin tak percaya dengan apa yang kulakukan. Aku juga bahkan tak percaya aku melakukannya. Hatiku hancur seketika, air mata tiba-tiba mengalir, kepanikan mencuat, dan aku segera berlari menggendong Lila menuju rumah sakit. Hal yang tidak akan dirasakan orang yang belum pernah kehilangan orang yang berharga baginya, hatinya hancur. Dan itulah yang kurasakan saat melihat Lila berdarah tak berdaya di jalanan. Aku merasa hancur... dan tidak ingin kehilangannya.

Kecelakaan itu, hal yang tidak pernah nyata dalam hidupku. Dan ketika ia hadir dan hampir merenggut adikku, membuatku mengerti perasaanku sesungguhnya. Aku menyayangi adikku, ya, dia adikku. Lila adalah adikku.

Dan disinilah aku, diruang perawatan, menggenggam jari mungil Lila, dan menantinya membuka mata kembali. Menyesali keangkuhanku. Kepergianku dari rumah nenek membuat Lila kabur mencariku, dan saat tiba di persimpangan jalan, ia yang belum bisa menyebrang sendiri akhirnya terserempet mobil.

Jemari kecil Lila bergerak. Aku segera kembali ke alam sadarku. Perlahan ia membuka matanya dan melihatku yang sedari tadi menggenggamnya. Ia tersenyum. Dan air mataku meleleh kembali.[]


Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, just stay this little
Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, it could stay this simple
I wont let nobody hurt you, wont let no one break your heart...


Alunan lirik tersebut menghancurkanku. Kau bahkan masih kecil, Lil. Dan kau terluka olehku, kakakmu sendiri. Air mataku hampir jatuh kembali.

“Rady! Jangan menangis!” ujar Lila yang menatapku dengan mata bulatnya. Aku tersenyum. Dia juga tersenyum.

“Lil, apa cita-citamu?” tanyaku sambil memasukan sesendok teh padanya.

“Menjadi adikmu,” jawabnya tegas dengan senyum khasnya. Namun perlahan senyumnya hilang melihat ekspresiku yang tak bergeming. “Boleh?” tanyanya dengan sedih.

Aku tersenyum. Kubelai rambutnya, “tentu saja kau adikku,” senyumnya kembali. “Selamanya...”[] (fy)



Viewers


Followers

Blogger Com

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources

Blogger Indonesia