Comments

Kamis, 26 Juli 2012

Aku Mau Pulang



Aku mau pulang!

Itulah yang aku pikirkan setelah dari jam 9 pagi berada di rumah sakit ini. Ya Allah ingin sekali aku menangis menghadapi semua ini sendirian. Aku yang hanya berniat mendaftarkan diriku untuk operasi hari senin, malah dibuat menunggu kamar yang kosong di sabtu yang mendung ini. Ah, aku kesal, dan yang terjadi sekarang aku menunggu sahabatku datang untuk ‘menjemputku’.

“Rubi, maaf ya, aku terlambat datang kemari. Kau tidak apa-apa?” akhirnya sahabatku datang juga.
“Fir, sebaiknya kita cepat pergi dari sini! Tadi seorang perawat mengizinkan aku kabur dari sini” aku separuh tersenyum, separuh panik.

Dan kamipun bergegas pergi dari rumah sakit. Aku benci keadaan ini, aku terjebak sebagai pasien dengan status mondok di rumah sakit ini. Sedangkaan aku tak membawa persiapan apapun dan orang tuaku belum datang. Dan, siapa yang mau melewatkan malam tanpa kawan di rumah sakit? Dan akupun kembali ke kos.
Ah, bahagianya aku bisa kembali ke kosan. Aku segera mengerjakan tugas-tugas kampusku yang menumpuk. Namun entah mengapa hatiku tidak tenang. Dan benar saja firasatku. Nomor yang tidak dikenal menghubungi ponselku.

“Halo,” sapaku.
“Mbak, ada dimana sekarang?” seperti dugaanku, itu suara perawat dari rumah sakit.
“Di kos, Bu. Saya kan belum membawa barang-barang saya, nanti saya segera kembali ke rumah sakit,” kataku berbohong. Siapa yang mau kembali setelah kabur dari rumah sakit malam-malam begini.
“Gimana toh mbak? Statusnya sudah mondok kok malah ke kos, tadi dkternya sudah datang, cepet kemari.”

Aku hanya berpura-pura akan kesana. Tentu saja aku tidak akan melakukannya. Aku sudah memutuskan untuk tidak menginap di rumah sakit malam ini. Dan saat hampir tengah malam, ponselku berdering lagi. Kali ini suara perawat itu semakin terdengar kesal. Ia bilang dokter sudah tiga kali ke kamarku dan tidak menemukanku disana.

Oh, ini menyebalkan, dan aku segera menyiapkan tasku dan bergegas ke rumah sakit dengan penjaga kosku. Aku tergesa-gesa menuju kamarku yang agak sulit diingat. Sesampainya di kamar rumah sakit, aku mengirim pesan kepada perawat tersebut bahwa aku telah datang.

Tak lama kemudian, dokterpun datang.
“Mbak, ada alergi?” tanya dokter tersebut.
“Tidak,” jaabku.
“ada riwayat asma?”
“tidak”
Dokter tersebut terus menulis dalam form yang ia pegang.
“Baik. Mbak, hari senin nanti, mbak akan dibius total, dan ada resiko-resiko tentunya dalam setiap tindakan. Resiko bisa terkena jantung, paru, atau kematian, namun sangat jarang terjadi,” kata dokter tersebut dengan tenang.

KEMATIAN? Oh, aku benar-benar tidak habis pikir, apa yang harus kulakukan? Aku sangat takut, dan aku ingin kembali ke kos. Aku diminta menandatangani form persetujuan operasi dari rumah sakit. Dan dokter tersebut pergi. Aku ingin menangis, aku tidak mau memikirkan soal kematian walau pikiran itu terus menghantuiku.

Kulirik jam ditanganku, sudah hampir tengah malam. Kurasa dokter tak akan berkunjung lagi malam ini. Dan akupun meluncur kembali ke kosan dengan taksi. Begitu tiba di kos, aku segera mematikan ponselku agar tak lagi dihubungi perawat. Aku segera berusaha tidur, walau ternyata sangat sulit ntuk lelap sempurna.[]


Aku seorang mahasiswi kedokteran, dan betapa aku syok saat aku terdiagnosis tumor jinak, fibroadenoma mammae. Ya, aku tau ini bukan kanker, aku tau ini jinak, namun aku sebagai manusia yang mendengar dirinya terkena tumor, aku lemas. Aku sendiri sangat mengerti bahwa tumor ini tidak berbahaya. Namun entah mengapa aku sangat terpukul. Bayangkan, dari seringnya insidensi penyakit ini, mengapa aku termasuk yang mengalaminya?

Saat aku memutuskan untuk melakukan operasi pengangkatan tumor, sebagian hatiku mengatakan ya, namun sebagian lagi takut. Aku belum pernah di rawat di rumah sakit, apalagi dioperasi. Aku membayangkan diriku sendiri dibius total dan tak sadarkan diri lagi untuk selama-lamanya. Oh tidaaaak!!!! Aku takut memikirkannya. Dan.. sesungguhnya seharusnya aku berpikir positif.[]


Minggu malam di rumah sakit, aku telah disini bersama orang tuaku. Aku semakin tak karuan. Hatiku bergemuruh dan aku berusaha ceria walau hatiku cemas. Hei! Besok aku bener-benar akan di operasi! Ah aku ingin menghentikan semua ini rasanya. Dan yang kubutuhkan adalah menyemangati diriku sendiri. Aku teringat temanku yang juga pernah mengidap tumor yang sama, dia hidup sampai sekarang. Kawan ayahku, anak kawan ayahku, bahkan sepupuku, yang juga mengalami hal yang sama dan telah menghadapi operasi, hidup hingga saat ini.

Aku memanfaatkan waktu kosong di rumah sakit dengan mengakses internet. Aku mencari pengalaman orang-orang yang yang pernah mengalami hal serupa denganku. Dan ternyata mereka semua baik-baik saja sampai saat ini. Aku mulai bersemangat, walau masih cemas.

Malam ini para perawat mulai memberiku obat, obat untuk membersihkan saluran cerna. Akupun diminta untuk puasa dari malam itu hingga operasi nanti. Saat tidur, aku berharap tidak bermimpi apa-apa, takut kalau-kalau malah mimpi buruk. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi semua ini.

Dan esokpun tiba. Jadwal operasiku jam 9 pagi. Perawat mulai memasang infus di tangan kananku. Ini pertamakalinya pula aku dipasang infus. Ya Allah, aku mencoba mengambil sisi positifnya, suatu saat nanti aku akan melakukan hal ini pada pasienku, dan sekarang aku merasakannya sendiri terlebih dahulu.  Perawat datang lagi, ia melakukan injeksi subkutan di tangan kananku. Dan...sakiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!! ingin teriak, namun aku hanya berusaha tegar. Yaampun pantas saja bayi menangis saat diberi imunisasi BCG! Suntikan subkutan sangat memilukan!

Pukul 9 kurang, aku sudah memakai baju operasiku. Hatiku semakin tak karuan. Aku harap semua ini akan berakhir ketika tiba-tiba tumorku bisa hilang sebelum operasi ini terjadi. Oh, dan nampaknya itu tidak terjadi. Kasurku mulai dibawa perawat ke instalasi bedah sentral. Aku ingin menangis melihat orang tuaku, kuharap ini bukan yang terakhir kalinya aku menatap mereka.

Waktu terus berjalan dan aku mulai memakai penutup kepala. Dan aku memasuki ruang operasi. Dokter-dokter itu baru saja melakukan operasi juga terhadap orang lain. Aku menatap ruang ini, besar, cukup dingin, terlalu banyak alat yang membuatku merasa sedang di penjagalan. Rasanya ingin kabur saat ini juga! Namun aku berusaha setenang mungkin. Aku mulai berdzikir dan berdoa kepada Allah tanpa henti. Detak jantungku mulai terdengar lewat monitor. Dokter-dokter sudah berada di sekelilingku.

“Siap ya, dik. Kita mulai..” seorang dokter dibelakangku berkata sambil menyiapkan penutup hidung disampingku.
Dan....[]


Mataku tiba-tiba terbuka. Aku masih di ruang operasi.
“Ya, sudah selesai..” dokter-dokter silih berganti mengatakan hal itu.
Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, dan.... sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt sekali!!!!! Oh ini sungguh menyakitkan! Aku sadar, saat bius tadi dibuka, aku merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana tidak, tubuhmu disayat-sayat! Tentu sangat menyakitkan. Tak kuasa lagi, akupun menangis.[]

Itulah yang selalu aku ingat saat malas datang melanda. Allah telah menyelamatkanku, Allah memberiku kesempatan untuk tetap hidup. Dan aku bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam proses pembelajaranku. Aku yang dulu tidak mau menjadi dokter, kini dengan pengalaman ini, bukan tidak mungkin aku akan menjadi dokter bedah. J


2 komentar:

aku juga kadang merasa seperti itu mas kalo pas malas melanda

Posting Komentar

Viewers


Followers

Blogger Com

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources

Blogger Indonesia