Itulah yang aku pikirkan setelah dari jam 9 pagi berada di rumah sakit ini. Ya Allah ingin sekali aku menangis menghadapi semua ini sendirian - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/aku-mau-pulang.html
Sepasang kaki mungil berlarian kesana kemari. Sebentar-sebentar menuju pintu salah satu bangsal. Menempelkan telinganya pada pintu yang selalu tertutup untuknya - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/prolog.html
Pintu kamarku menutup keras. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benakku. Sedih, kesal, bingung, tidak terima, tidak siap, dan semua rasa yang tidak menyenangkan lainnya - http://fairysweetnotes.blogspot.com/2012/07/to-be-your-sister.html
Itulah yang aku pikirkan setelah dari jam 9 pagi berada di
rumah sakit ini. Ya Allah ingin sekali aku menangis menghadapi semua ini
sendirian. Aku yang hanya berniat mendaftarkan diriku untuk operasi hari senin,
malah dibuat menunggu kamar yang kosong di sabtu yang mendung ini. Ah, aku
kesal, dan yang terjadi sekarang aku menunggu sahabatku datang untuk
‘menjemputku’.
“Rubi, maaf ya, aku terlambat datang kemari. Kau tidak
apa-apa?” akhirnya sahabatku datang juga.
“Fir, sebaiknya kita cepat pergi dari sini! Tadi seorang
perawat mengizinkan aku kabur dari sini” aku separuh tersenyum, separuh panik.
Dan kamipun bergegas pergi dari rumah sakit. Aku benci
keadaan ini, aku terjebak sebagai pasien dengan status mondok di rumah sakit
ini. Sedangkaan aku tak membawa persiapan apapun dan orang tuaku belum datang.
Dan, siapa yang mau melewatkan malam tanpa kawan di rumah sakit? Dan akupun
kembali ke kos.
Ah, bahagianya aku bisa kembali ke kosan. Aku segera
mengerjakan tugas-tugas kampusku yang menumpuk. Namun entah mengapa hatiku
tidak tenang. Dan benar saja firasatku. Nomor yang tidak dikenal menghubungi
ponselku.
“Halo,” sapaku.
“Mbak, ada dimana sekarang?” seperti dugaanku, itu suara
perawat dari rumah sakit.
“Di kos, Bu. Saya kan belum membawa barang-barang saya,
nanti saya segera kembali ke rumah sakit,” kataku berbohong. Siapa yang mau
kembali setelah kabur dari rumah sakit malam-malam begini.
“Gimana toh mbak? Statusnya sudah mondok kok malah ke kos,
tadi dkternya sudah datang, cepet kemari.”
Aku hanya berpura-pura akan kesana. Tentu saja aku tidak
akan melakukannya. Aku sudah memutuskan untuk tidak menginap di rumah sakit
malam ini. Dan saat hampir tengah malam, ponselku berdering lagi. Kali ini
suara perawat itu semakin terdengar kesal. Ia bilang dokter sudah tiga kali ke
kamarku dan tidak menemukanku disana.
Oh, ini menyebalkan, dan aku segera menyiapkan tasku dan
bergegas ke rumah sakit dengan penjaga kosku. Aku tergesa-gesa menuju kamarku
yang agak sulit diingat. Sesampainya di kamar rumah sakit, aku mengirim pesan
kepada perawat tersebut bahwa aku telah datang.
Tak lama kemudian, dokterpun datang.
“Mbak, ada alergi?” tanya dokter tersebut.
“Tidak,” jaabku.
“ada riwayat asma?”
“tidak”
Dokter tersebut terus menulis dalam form yang ia pegang.
“Baik. Mbak, hari senin nanti, mbak akan dibius total, dan
ada resiko-resiko tentunya dalam setiap tindakan. Resiko bisa terkena jantung,
paru, atau kematian, namun sangat jarang terjadi,” kata dokter tersebut dengan
tenang.
KEMATIAN? Oh, aku benar-benar tidak habis pikir, apa yang
harus kulakukan? Aku sangat takut, dan aku ingin kembali ke kos. Aku diminta
menandatangani form persetujuan operasi dari rumah sakit. Dan dokter tersebut
pergi. Aku ingin menangis, aku tidak mau memikirkan soal kematian walau pikiran
itu terus menghantuiku.
Kulirik jam ditanganku, sudah hampir tengah malam. Kurasa
dokter tak akan berkunjung lagi malam ini. Dan akupun meluncur kembali ke kosan
dengan taksi. Begitu tiba di kos, aku segera mematikan ponselku agar tak lagi
dihubungi perawat. Aku segera berusaha tidur, walau ternyata sangat sulit ntuk
lelap sempurna.[]
Aku seorang mahasiswi kedokteran, dan betapa aku syok saat
aku terdiagnosis tumor jinak, fibroadenoma mammae. Ya, aku tau ini bukan
kanker, aku tau ini jinak, namun aku sebagai manusia yang mendengar dirinya
terkena tumor, aku lemas. Aku sendiri sangat mengerti bahwa tumor ini tidak
berbahaya. Namun entah mengapa aku sangat terpukul. Bayangkan, dari seringnya
insidensi penyakit ini, mengapa aku termasuk yang mengalaminya?
Saat aku memutuskan untuk melakukan operasi pengangkatan
tumor, sebagian hatiku mengatakan ya, namun sebagian lagi takut. Aku belum
pernah di rawat di rumah sakit, apalagi dioperasi. Aku membayangkan diriku
sendiri dibius total dan tak sadarkan diri lagi untuk selama-lamanya. Oh
tidaaaak!!!! Aku takut memikirkannya. Dan.. sesungguhnya seharusnya aku
berpikir positif.[]
Minggu malam di rumah sakit, aku telah disini bersama orang
tuaku. Aku semakin tak karuan. Hatiku bergemuruh dan aku berusaha ceria walau
hatiku cemas. Hei! Besok aku bener-benar akan di operasi! Ah aku ingin
menghentikan semua ini rasanya. Dan yang kubutuhkan adalah menyemangati diriku
sendiri. Aku teringat temanku yang juga pernah mengidap tumor yang sama, dia
hidup sampai sekarang. Kawan ayahku, anak kawan ayahku, bahkan sepupuku, yang
juga mengalami hal yang sama dan telah menghadapi operasi, hidup hingga saat
ini.
Aku memanfaatkan waktu kosong di rumah sakit dengan mengakses
internet. Aku mencari pengalaman orang-orang yang yang pernah mengalami hal
serupa denganku. Dan ternyata mereka semua baik-baik saja sampai saat ini. Aku
mulai bersemangat, walau masih cemas.
Malam ini para perawat mulai memberiku obat, obat untuk
membersihkan saluran cerna. Akupun diminta untuk puasa dari malam itu hingga
operasi nanti. Saat tidur, aku berharap tidak bermimpi apa-apa, takut
kalau-kalau malah mimpi buruk. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi semua
ini.
Dan esokpun tiba. Jadwal operasiku jam 9 pagi. Perawat mulai
memasang infus di tangan kananku. Ini pertamakalinya pula aku dipasang infus.
Ya Allah, aku mencoba mengambil sisi positifnya, suatu saat nanti aku akan
melakukan hal ini pada pasienku, dan sekarang aku merasakannya sendiri terlebih
dahulu. Perawat datang lagi, ia
melakukan injeksi subkutan di tangan kananku. Dan...sakiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!!
ingin teriak, namun aku hanya berusaha tegar. Yaampun pantas saja bayi menangis
saat diberi imunisasi BCG! Suntikan subkutan sangat memilukan!
Pukul 9 kurang, aku sudah memakai baju operasiku. Hatiku semakin
tak karuan. Aku harap semua ini akan berakhir ketika tiba-tiba tumorku bisa
hilang sebelum operasi ini terjadi. Oh, dan nampaknya itu tidak terjadi.
Kasurku mulai dibawa perawat ke instalasi bedah sentral. Aku ingin menangis
melihat orang tuaku, kuharap ini bukan yang terakhir kalinya aku menatap
mereka.
Waktu terus berjalan dan aku mulai memakai penutup kepala.
Dan aku memasuki ruang operasi. Dokter-dokter itu baru saja melakukan operasi
juga terhadap orang lain. Aku menatap ruang ini, besar, cukup dingin, terlalu
banyak alat yang membuatku merasa sedang di penjagalan. Rasanya ingin kabur
saat ini juga! Namun aku berusaha setenang mungkin. Aku mulai berdzikir dan
berdoa kepada Allah tanpa henti. Detak jantungku mulai terdengar lewat monitor.
Dokter-dokter sudah berada di sekelilingku.
“Siap ya, dik. Kita mulai..” seorang dokter dibelakangku
berkata sambil menyiapkan penutup hidung disampingku.
Dan....[]
Mataku tiba-tiba terbuka. Aku masih di ruang operasi.
“Ya, sudah selesai..” dokter-dokter silih berganti
mengatakan hal itu.
Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, dan....
sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt sekali!!!!! Oh ini sungguh menyakitkan! Aku
sadar, saat bius tadi dibuka, aku merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana
tidak, tubuhmu disayat-sayat! Tentu sangat menyakitkan. Tak kuasa lagi, akupun
menangis.[]
Itulah yang selalu aku ingat saat malas datang melanda.
Allah telah menyelamatkanku, Allah memberiku kesempatan untuk tetap hidup. Dan aku
bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam proses pembelajaranku. Aku yang dulu
tidak mau menjadi dokter, kini dengan pengalaman ini, bukan tidak mungkin aku
akan menjadi dokter bedah. J
Sepasang kaki mungil berlarian kesana kemari. Sebentar-sebentar menuju pintu salah satu bangsal. Menempelkan telinganya pada pintu yang selalu tertutup untuknya. Kemudian kembali ia berlari ke arah kursi tunggu. Duduk manis disamping bibi dan neneknya.
Jari-jari telunjuknya bersatu, saling berputar, dan kembali bersatu. Matanya sembab. Bibinya merangkul pundak kecil gadis itu. Dan ia mulai berbalik memeluk bibinya sambil terisak.
"Semua akan baik-baik saja," kata bibinya. Yang tak tahu harus berkata apa lagi. Sudah terlalu sering ia berkata begitu.
Seorang dokter keluar dari bangsal yang tadi dihampiri gadis kecil itu. Bukan pertama kali ini terjadi. Dan untuk kesekian kalinya pemandangan seperti ini dialami gadis itu bersama bibi dan neneknya. Juga seperti biasanya, si bibi mulai menanyakan keadaan ibu si gadis kecil, yang terbaring di bangsal rumah sakit tersebut.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya si bibi.
Gadis kecil itu berbalik dan mulai menatap dokter tersebut. Matanya basah akan airmata. Entah mengapa dari semalam si gadis selalu menangis. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, walau tahu ibunya sakit parah, ia tidak menangis. Suasananya terlalu berbeda, walau nampak sama, tapi terasa berbeda.
"Kami minta maaf. Sudah saatnya..." dokter tersebut tidak dapat melanjutkan perkataannya. Dan sebenarnya kata-kata tersebut sudah dimengerti oleh bibi si gadis kecil.
Air mata jatuh dari sudut mata bibi dan nenek si gadis. Sedangkan gadis kecil itu kembali terisak dipelukan bibinya. Tak ada teriakan histeris. Hanya ada air mata dan suara sesunggukan si gadis kecil. Ya, mereka sudah mempersiapkan diri. Seperti yang dikatakan dokter tadi, sudah saatnya...selama ini memang hanya tinggal menunggu waktu.
Tiba-tiba...
"Amora, kita pulang sekarang juga!" pria bertangan besar menarik lengan gadis kecil yang masih bersedih atas kematian ibunya.
"Phil, apa yang kau lakukan?" si bibi menarik lengan satunya gadis kecil itu.
"Phil, tidakkah kau ingin melihat istrimu untuk yang terakhir kalinya?" si nenek bicara.
"Diam nenek tua! Aku tidak ingin melihatnya. Aku hanya ingin mengambil anakku."
Bibi si gadis kecil menatap sinis pria tersebut, "kau berani menganggapnya anak? Apa yang akan kau lakukan padanya, hah?"
"Itu jelas bukan urusanmu!" seru pria itu sambil menggendong gadis kecilnya. Ia berjalan cepat menghindari adik dan ibu dari istrinya yang berusaha mengejar dan meneriakinya.
"Bibiiii.... Neneeeekkk...." tangis gadis kecil itu seraya tangannya berusaha meraih bibi dan nenek yang berusaha mengejar ayahnya.
Namun pria itu terlalu cepat untuk dikejar. Mereka tak lagi mampu mengejarnya...
Pintu kamarku menutup keras. Berbagai
perasaan berkecamuk dalam benakku. Sedih, kesal, bingung, tidak terima, tidak
siap, dan semua rasa yang tidak menyenangkan lainnya. Aku tahu benar sikapku
salah. Tapi entah mengapa, aku sering melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kata hatiku. Dan sudah pasti ayahu kecewa padaku.
“Rady!” ayahku memanggil. “Kau sudah
berjanji akan melakukannya kali ini. Kau tidak bisa selamanya melarikan diri.”
Aku tahu itu. Tapi aku tidak siap.
Belum siap.
“Kau tidak akan siap kalau kau tidak
mencobanya sekarang,” seru ayahku seolah telah membaca pikiranku.
Pada akhirnya aku membuka pintu
kamarku. Terlihat lelak paruh baya yang berdiri di depan kamarku, ayahku, yang
sudah berulang kali memintaku mengunjungi rumah nenek. Tidak, tidak hanya
mengunjungi nenekku. Ke rumah nenek berarti menemui seorang pembunuh. []
Mobil kami melaju cepat menuju
pedesaan tempat nenekku tinggal. Pepohonan berbaris di sepanjang jalan. Aku
membuka jendela mobil, menghirup udara pegunungan yang begitu segar. Angin
diluar bertiup dengan sunyi, sesunyi isi mobil ini. Tak sepatah katapun keluar
dari mulut ayah maupun aku.
Aku begitu gugup. Tapi aku yakin
ayahku lebih gugup menghadapi hari ini. Mengingat bagaimana masa lalu
keluargaku, masa laluku. Jika ada pilihan yang lebih baik, aku yakin beliau
tidak akan memilih tindakan beresiko ini. Namun aku yakin, beliau berusaha
meyakinkan dirinya bahwa aku sudah cukup dewasa untuk melakukan pertemuan ini.
Dan rumah mungil dengan halaman dan
kebun yang begitu luas mulai terlihat. Perlahan mobil terparkir di depan rumah
mungil milik nenekku. Seorang gadis kecil melompat dari pangkuan nenekku yang
sedang duduk di teras rumahnya. Gadis itu berambut ikal, dikuncir dua, dan aku
tak sanggup melihat wajahnya.
“Rady, kau tahu apa yang harus kau
lakukan,” ucap ayahku sebelum keluar dari mobil.
Dan gadis itu menghambur ke pelukan ayahku
saat beliau turun dari mobil.[]
“Sudah lama sekali,” ucap nenekku
seraya memelukku erat. Aku balas memeluknya. Ya, sudah terlalu lama aku tidak
bertemu nenek. Nenek terlihat jauh leih tua dari sejak terakhir aku melihatnya.
“Aku merindukan nenek,” kataku jujur.
Kami melepaskan pelukan dan saling tersenyum.
“Hai, Rady,” panggil gadis kecil dalam
gendongan ayahku. Barang sedikitpun aku tidak mampu menatapnya.
Beruntungnya, ayahku menyadari
kekakuan sikapku. Dan sebelum hal buruk terjadi, ayah segera mengajak kami
menuju kebun. Seperti saat aku kecil, setiap berkunjung, nenekku selalu
menyiapkan makan siang bersama di kebun, sambil menikmati alam katanya. Tak ada
yang berbeda, kecuali tak ada ibuku disana.
Makan siang ini tak berbeda seperti
saat bertahun-tahun lalu. Tidak pernah sepi. Selalu ada tawa, canda, juga
cerita. Tak berbeda, kecuali, bukan lagi aku yang bercerita dan membuat ayah
dan nenek tertawa. Tapi gadis kecil itu. Dan hatiku terasa hampa. Sepi.
“Saat aku bilang pada teman-temanku
aku punya kakak laki-laki, mereka semua iri padaku. Soalnya mereka kebanyakan
tidak punya kakak, atau kakak mereka perempuan,” gadis itu bercerita penuh
semangat. Dan sangat mampu membius perhatian ayah dan nenekku. “Lalu aku
bilang, karena aku punya kakak laki-laki, dia akan selalu melindungiku,”
lanjutnya sambil tersenyum. Kemudian sunyi.
Aku merasakan mata gadis itu menatapku
yang tak bicara ataupun mengekspresikan sesuatu.
“Ayah, kenapa Rady diam saja dari
tadi?” tanyanya. Ayahku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Rady,
kau kok gak bicara apapun? Kau tak suka aku ya?" gadis itu menatapku
tajam.
Aku tetap tak berani memandang pemilik suara
mungil itu. Tak juga berkata sepatah katapun. Dan ayah mulai memandangku dengan
wajah marah.
Dan aku
mulai memberanikan diri memandang wajah mungil disana. Wajah yang begitu
membuatku kembali membencinya. Wajah yang perlahan berhasil membuatku
mengurungkan niat untuk mulai menyayanginya. Dia... terlalu mirip ibuku. Begitu
miripnya hingga mengingatkanku pada kejadian itu.
Delapan tahun silam...
Rady kecil berumur sepuluh tahun. Sudah cukup
tua usia Ibunya untuk hamil lagi saat itu. Rady kecil begitu bahagia ketika
mengetahui ibunya hamil. Artinya ia akan memiliki adik, seperti teman-temannya
yang lain. Nantinya akan ada yang bisa ia ajak bermain, berbagi mainan, ataupun
berbagi kue. Dan ketika ia tahu kemungkinan adiknya adalah perempuan, ia begitu
bahagia. Pasti adiknya akan mirip dengan ibunya, pikirnya. Hingga tiba saat
ibunya harus melahirkan, lendir bercampur darah mulai terlihat, dan ibunya
mulai merasa perutnya sakit. Mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Saat ibunya memasuki kamar bersalin, Rady kecil terlalu muda untuk mengerti apa
yang terjadi. Berjam-jam menunggu diluar sendirian, karena ayahnya menemani
ibunya di dalam kamar bersalin. Ia menutup wajahnya dan hanya bisa berdoa. Dan
suara tangispun terdengar. Adiknya telah lahir. Ia segera bangkit dan mendekati
pintu kamar bersalin ibunya. Lama, dan membuatnya mulai takut. Kemudian
menangis...ketika akhirnya ayahnya keluar dan segera memeluknya. Ibunya
meninggal.....
Tanganku
mulai mengepal, juga menahan air mata. Aku merasakan sentuhan hangat tangan
nenek. Berusaha menenangkanku yang terhanyut dalam perasaan saat Lila, adikku, lahir. Terbayang kebencianku pada
Lila saat mengetahui ibu meninggal setelah melahirkan gadis kecil itu. Kebencian
itu membuatku gila, yang sangat ingin
mengakhiri hidup adik kecil yang dulu sangat kunantikan. Yang tergila adalah
ketika aku nekat membawa pisau mendekati Lila, dan ayahnya melihat kejadian
itu. Dan segera setelah itu Lila dibawa pergi ke rumah nenek. Hidup terpisah dariku mungkin memang yang
terbaik bagi Lila. Juga bagiku.
“Rady!
Inikah yang dilakukan seorang kakak pada adik yang delapan tahun tak pernah
ditemuinya? Sampai kapan kau tidak dewasa seperti ini?” ayah membentakku.
Tiba-tiba
air mataku meleleh. Aku berlari ke dalam rumah nenek dan melupakan makanan di
meja makan. Aku berusaha untuk menahan tangisku. Aku tahu saat ini ayah sangat
marah padaku. Dan aku mendengar ucapan Lila di luar.
"Ayah,
begitu bencikah Rady padaku? Aku gak tahu salahku. Bahkan aku ga diberi waktu
untuk tahu apa salahku. Aku gak pernah minta ibu melahirkanku. Tapi aku ga bisa
memilih ibuku sendiri...” suara Lila diiringi tangis yang begitu membuatku
merasa seperti orang tak berperasaan.
"Lila.."
ayah terdengar menenangkan Lila.
"Ayah,
ini gak adil. Apa Rady marah karena aku menyebabkan ibu meninggal? Tapi Rady
masih bisa bertemu ibu. Sedangkan aku tidak pernah...hiks..hiks..apa dia
pernah memikirkan perasaanku? Aku sangat
sayang pada Rady, Ayah.."
Nenek
menghampiriku. Mengelus bahuku dari belakang. Dan aku hanya bisa tertunduk
menangis. Entah apa yang aku rasakan. Apakah aku benar-benar membenci Lila?
Apakah aku sedih mendengar ucapannya tadi? Aku tidak mengerti.
Aku
bangkit, “Nek, aku minta waktu untuk sendiri... Aku akan berjalan-jalan di luar,”
kataku lembut.[]
Langkahku
perlahan menyusuri jalan dan mulai menjauh dari rumah nenek. Memikirkan
sikapku. Aku tahu tak seharusnya aku begini. Aku telah berjanji akan merubah
sikapku pada Lila. Tapi semua rencana itu hancur seketika saat meilhat wajanya.
Seakan dia itu ibu. Dan itu membuatku semakin berat untuk memulai menyayangi
Lila. Semakin berat menganggap pembunuh
itu sebagai adikku.
Duk. Bola plastik muncul dihadapanku.
Dan satu dari kerumunan anak kecil di sebuah lapangan menghampiriku. Ia tampak
ragu ingin mengambil bola itu. Aku berjongkok dan memberikan bola tersebut pada
bocah itu.
“Kau mirip temanku,” ujarnya, “ tapi
lebih mirip ayah temanku,” lanjutnya sambil menatapku.
“Benarkah?”
Bocah itu mengangguk yakin. “Namanya
Lila. Katanya ia punya kakak laki-laki, mungkin dia mirip sepertimu. Dan Lila
bilang, kakaknya baik dan pasti akan menolong Lila jika sesuatu yang buruk
terjadi,” ujarnya. Lalu berlari kembali kepada teman-temannya.
Aku berdiri kembali. Memikirkan
kata-kata yang diucapkan teman Lila barusan. Betapa ironisnya perkataan teman
Lila dengan apa yang sesungguhnya kulakukan. Aku tidak menolong Lila, aku malah
mungkin meluakainya. Sangat kejamkah aku? Aku semakin tidak mengerti apa yang
kurasakan terhadap Lila.
Tanpa terasa aku telah jauh melangkah kembali
menuju rumah nenek. Dan entah apa yang terjadi, ada kerumunan orang di sebuah
persimpangan jalan. Dan aku tak berhasil untuk pura-pura tidak tahu. Kudekati
kerumunan itu, ternyata kecelakaan. Begitu ramainya sampai aku sulit melihat
korbannya. Samar-samar terlihat tangan kecil terkepal. Anak kecil? Aku segera
meneroboskan tubuhku ke dalam kerumunan itu dan... LILA! []
Kecelakaan itu layaknya sebuah cerita
dalam drama, sebuah lirik dalam lagu, sebuah kisah yang tak pernah benar-benar
nyata. Sunyi. Tapi ini nyata. Dingin. Hening. Namun tidak sepi.
Selayaknya kisah, yang tak pernah
nyata dalam hidupmu. Namun ketika ia sungguh hadir, begitu nyata, kau bahkan
mampu berbuat berkebalikan dengan kata hatimu. Atau malah, kau akan mengetahui
perasaanmu yang sesungguhnya.
Aku tidak mampu mendengar suara ayah
maupun nenek, tidak juga sentuhan mereka. Hanya saja aku tahu mereka ada, dan
mungkin tak percaya dengan apa yang kulakukan. Aku juga bahkan tak percaya aku
melakukannya. Hatiku hancur seketika, air mata tiba-tiba mengalir, kepanikan
mencuat, dan aku segera berlari menggendong Lila menuju rumah sakit. Hal yang
tidak akan dirasakan orang yang belum pernah kehilangan orang yang berharga
baginya, hatinya hancur. Dan itulah yang kurasakan saat melihat Lila berdarah
tak berdaya di jalanan. Aku merasa hancur... dan tidak ingin kehilangannya.
Kecelakaan itu, hal yang tidak pernah
nyata dalam hidupku. Dan ketika ia hadir dan hampir merenggut adikku, membuatku
mengerti perasaanku sesungguhnya. Aku menyayangi adikku, ya, dia adikku. Lila adalah adikku.
Dan disinilah aku, diruang perawatan,
menggenggam jari mungil Lila, dan menantinya membuka mata kembali. Menyesali
keangkuhanku. Kepergianku dari rumah nenek membuat Lila kabur mencariku, dan
saat tiba di persimpangan jalan, ia yang belum bisa menyebrang sendiri akhirnya
terserempet mobil.
Jemari kecil Lila bergerak. Aku segera
kembali ke alam sadarku. Perlahan ia membuka matanya dan melihatku yang sedari
tadi menggenggamnya. Ia tersenyum. Dan air mataku meleleh kembali.[]
Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, just
stay this little
Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, it
could stay this simple
I wont let nobody hurt you, wont let no one break your heart...
Alunan lirik tersebut menghancurkanku.
Kau bahkan masih kecil, Lil. Dan kau terluka olehku, kakakmu sendiri. Air
mataku hampir jatuh kembali.
“Rady! Jangan menangis!” ujar Lila
yang menatapku dengan mata bulatnya. Aku tersenyum. Dia juga tersenyum.
“Lil, apa cita-citamu?” tanyaku sambil
memasukan sesendok teh padanya.
“Menjadi adikmu,” jawabnya tegas
dengan senyum khasnya. Namun perlahan senyumnya hilang melihat ekspresiku yang
tak bergeming. “Boleh?” tanyanya dengan sedih.
Aku tersenyum. Kubelai rambutnya,
“tentu saja kau adikku,” senyumnya kembali. “Selamanya...”[] (fy)