BRAK!!!
Pintu kamarku menutup keras. Berbagai
perasaan berkecamuk dalam benakku. Sedih, kesal, bingung, tidak terima, tidak
siap, dan semua rasa yang tidak menyenangkan lainnya. Aku tahu benar sikapku
salah. Tapi entah mengapa, aku sering melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kata hatiku. Dan sudah pasti ayahu kecewa padaku.
“Rady!” ayahku memanggil. “Kau sudah
berjanji akan melakukannya kali ini. Kau tidak bisa selamanya melarikan diri.”
Aku tahu itu. Tapi aku tidak siap.
Belum siap.
“Kau tidak akan siap kalau kau tidak
mencobanya sekarang,” seru ayahku seolah telah membaca pikiranku.
Pada akhirnya aku membuka pintu
kamarku. Terlihat lelak paruh baya yang berdiri di depan kamarku, ayahku, yang
sudah berulang kali memintaku mengunjungi rumah nenek. Tidak, tidak hanya
mengunjungi nenekku. Ke rumah nenek berarti menemui seorang pembunuh. []
Mobil kami melaju cepat menuju
pedesaan tempat nenekku tinggal. Pepohonan berbaris di sepanjang jalan. Aku
membuka jendela mobil, menghirup udara pegunungan yang begitu segar. Angin
diluar bertiup dengan sunyi, sesunyi isi mobil ini. Tak sepatah katapun keluar
dari mulut ayah maupun aku.
Aku begitu gugup. Tapi aku yakin
ayahku lebih gugup menghadapi hari ini. Mengingat bagaimana masa lalu
keluargaku, masa laluku. Jika ada pilihan yang lebih baik, aku yakin beliau
tidak akan memilih tindakan beresiko ini. Namun aku yakin, beliau berusaha
meyakinkan dirinya bahwa aku sudah cukup dewasa untuk melakukan pertemuan ini.
Dan rumah mungil dengan halaman dan
kebun yang begitu luas mulai terlihat. Perlahan mobil terparkir di depan rumah
mungil milik nenekku. Seorang gadis kecil melompat dari pangkuan nenekku yang
sedang duduk di teras rumahnya. Gadis itu berambut ikal, dikuncir dua, dan aku
tak sanggup melihat wajahnya.
“Rady, kau tahu apa yang harus kau
lakukan,” ucap ayahku sebelum keluar dari mobil.
Dan gadis itu menghambur ke pelukan ayahku
saat beliau turun dari mobil.[]
“Sudah lama sekali,” ucap nenekku
seraya memelukku erat. Aku balas memeluknya. Ya, sudah terlalu lama aku tidak
bertemu nenek. Nenek terlihat jauh leih tua dari sejak terakhir aku melihatnya.
“Aku merindukan nenek,” kataku jujur.
Kami melepaskan pelukan dan saling tersenyum.
“Hai, Rady,” panggil gadis kecil dalam
gendongan ayahku. Barang sedikitpun aku tidak mampu menatapnya.
Beruntungnya, ayahku menyadari
kekakuan sikapku. Dan sebelum hal buruk terjadi, ayah segera mengajak kami
menuju kebun. Seperti saat aku kecil, setiap berkunjung, nenekku selalu
menyiapkan makan siang bersama di kebun, sambil menikmati alam katanya. Tak ada
yang berbeda, kecuali tak ada ibuku disana.
Makan siang ini tak berbeda seperti
saat bertahun-tahun lalu. Tidak pernah sepi. Selalu ada tawa, canda, juga
cerita. Tak berbeda, kecuali, bukan lagi aku yang bercerita dan membuat ayah
dan nenek tertawa. Tapi gadis kecil itu. Dan hatiku terasa hampa. Sepi.
“Saat aku bilang pada teman-temanku
aku punya kakak laki-laki, mereka semua iri padaku. Soalnya mereka kebanyakan
tidak punya kakak, atau kakak mereka perempuan,” gadis itu bercerita penuh
semangat. Dan sangat mampu membius perhatian ayah dan nenekku. “Lalu aku
bilang, karena aku punya kakak laki-laki, dia akan selalu melindungiku,”
lanjutnya sambil tersenyum. Kemudian sunyi.
Aku merasakan mata gadis itu menatapku
yang tak bicara ataupun mengekspresikan sesuatu.
“Ayah, kenapa Rady diam saja dari
tadi?” tanyanya. Ayahku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Rady,
kau kok gak bicara apapun? Kau tak suka aku ya?" gadis itu menatapku
tajam.
Aku tetap tak berani memandang pemilik suara
mungil itu. Tak juga berkata sepatah katapun. Dan ayah mulai memandangku dengan
wajah marah.
“Rady,
Lila mengajakmu bicara. Kenapa kau diam saja?” suaranya terdengar menahan
amarah.
Dan aku
mulai memberanikan diri memandang wajah mungil disana. Wajah yang begitu
membuatku kembali membencinya. Wajah yang perlahan berhasil membuatku
mengurungkan niat untuk mulai menyayanginya. Dia... terlalu mirip ibuku. Begitu
miripnya hingga mengingatkanku pada kejadian itu.
Delapan tahun silam...
Rady kecil berumur sepuluh tahun. Sudah cukup
tua usia Ibunya untuk hamil lagi saat itu. Rady kecil begitu bahagia ketika
mengetahui ibunya hamil. Artinya ia akan memiliki adik, seperti teman-temannya
yang lain. Nantinya akan ada yang bisa ia ajak bermain, berbagi mainan, ataupun
berbagi kue. Dan ketika ia tahu kemungkinan adiknya adalah perempuan, ia begitu
bahagia. Pasti adiknya akan mirip dengan ibunya, pikirnya. Hingga tiba saat
ibunya harus melahirkan, lendir bercampur darah mulai terlihat, dan ibunya
mulai merasa perutnya sakit. Mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Saat ibunya memasuki kamar bersalin, Rady kecil terlalu muda untuk mengerti apa
yang terjadi. Berjam-jam menunggu diluar sendirian, karena ayahnya menemani
ibunya di dalam kamar bersalin. Ia menutup wajahnya dan hanya bisa berdoa. Dan
suara tangispun terdengar. Adiknya telah lahir. Ia segera bangkit dan mendekati
pintu kamar bersalin ibunya. Lama, dan membuatnya mulai takut. Kemudian
menangis...ketika akhirnya ayahnya keluar dan segera memeluknya. Ibunya
meninggal.....
Tanganku
mulai mengepal, juga menahan air mata. Aku merasakan sentuhan hangat tangan
nenek. Berusaha menenangkanku yang terhanyut dalam perasaan saat Lila, adikku, lahir. Terbayang kebencianku pada
Lila saat mengetahui ibu meninggal setelah melahirkan gadis kecil itu. Kebencian
itu membuatku gila, yang sangat ingin
mengakhiri hidup adik kecil yang dulu sangat kunantikan. Yang tergila adalah
ketika aku nekat membawa pisau mendekati Lila, dan ayahnya melihat kejadian
itu. Dan segera setelah itu Lila dibawa pergi ke rumah nenek. Hidup terpisah dariku mungkin memang yang
terbaik bagi Lila. Juga bagiku.
“Rady!
Inikah yang dilakukan seorang kakak pada adik yang delapan tahun tak pernah
ditemuinya? Sampai kapan kau tidak dewasa seperti ini?” ayah membentakku.
Tiba-tiba
air mataku meleleh. Aku berlari ke dalam rumah nenek dan melupakan makanan di
meja makan. Aku berusaha untuk menahan tangisku. Aku tahu saat ini ayah sangat
marah padaku. Dan aku mendengar ucapan Lila di luar.
"Ayah,
begitu bencikah Rady padaku? Aku gak tahu salahku. Bahkan aku ga diberi waktu
untuk tahu apa salahku. Aku gak pernah minta ibu melahirkanku. Tapi aku ga bisa
memilih ibuku sendiri...” suara Lila diiringi tangis yang begitu membuatku
merasa seperti orang tak berperasaan.
"Lila.."
ayah terdengar menenangkan Lila.
"Ayah,
ini gak adil. Apa Rady marah karena aku menyebabkan ibu meninggal? Tapi Rady
masih bisa bertemu ibu. Sedangkan aku tidak pernah...hiks..hiks..apa dia
pernah memikirkan perasaanku? Aku sangat
sayang pada Rady, Ayah.."
Nenek
menghampiriku. Mengelus bahuku dari belakang. Dan aku hanya bisa tertunduk
menangis. Entah apa yang aku rasakan. Apakah aku benar-benar membenci Lila?
Apakah aku sedih mendengar ucapannya tadi? Aku tidak mengerti.
Aku
bangkit, “Nek, aku minta waktu untuk sendiri... Aku akan berjalan-jalan di luar,”
kataku lembut.[]
Langkahku
perlahan menyusuri jalan dan mulai menjauh dari rumah nenek. Memikirkan
sikapku. Aku tahu tak seharusnya aku begini. Aku telah berjanji akan merubah
sikapku pada Lila. Tapi semua rencana itu hancur seketika saat meilhat wajanya.
Seakan dia itu ibu. Dan itu membuatku semakin berat untuk memulai menyayangi
Lila. Semakin berat menganggap pembunuh
itu sebagai adikku.
Duk. Bola plastik muncul dihadapanku.
Dan satu dari kerumunan anak kecil di sebuah lapangan menghampiriku. Ia tampak
ragu ingin mengambil bola itu. Aku berjongkok dan memberikan bola tersebut pada
bocah itu.
“Kau mirip temanku,” ujarnya, “ tapi
lebih mirip ayah temanku,” lanjutnya sambil menatapku.
“Benarkah?”
Bocah itu mengangguk yakin. “Namanya
Lila. Katanya ia punya kakak laki-laki, mungkin dia mirip sepertimu. Dan Lila
bilang, kakaknya baik dan pasti akan menolong Lila jika sesuatu yang buruk
terjadi,” ujarnya. Lalu berlari kembali kepada teman-temannya.
Aku berdiri kembali. Memikirkan
kata-kata yang diucapkan teman Lila barusan. Betapa ironisnya perkataan teman
Lila dengan apa yang sesungguhnya kulakukan. Aku tidak menolong Lila, aku malah
mungkin meluakainya. Sangat kejamkah aku? Aku semakin tidak mengerti apa yang
kurasakan terhadap Lila.
Tanpa terasa aku telah jauh melangkah kembali
menuju rumah nenek. Dan entah apa yang terjadi, ada kerumunan orang di sebuah
persimpangan jalan. Dan aku tak berhasil untuk pura-pura tidak tahu. Kudekati
kerumunan itu, ternyata kecelakaan. Begitu ramainya sampai aku sulit melihat
korbannya. Samar-samar terlihat tangan kecil terkepal. Anak kecil? Aku segera
meneroboskan tubuhku ke dalam kerumunan itu dan... LILA! []
Kecelakaan itu layaknya sebuah cerita
dalam drama, sebuah lirik dalam lagu, sebuah kisah yang tak pernah benar-benar
nyata. Sunyi. Tapi ini nyata. Dingin. Hening. Namun tidak sepi.
Selayaknya kisah, yang tak pernah
nyata dalam hidupmu. Namun ketika ia sungguh hadir, begitu nyata, kau bahkan
mampu berbuat berkebalikan dengan kata hatimu. Atau malah, kau akan mengetahui
perasaanmu yang sesungguhnya.
Aku tidak mampu mendengar suara ayah
maupun nenek, tidak juga sentuhan mereka. Hanya saja aku tahu mereka ada, dan
mungkin tak percaya dengan apa yang kulakukan. Aku juga bahkan tak percaya aku
melakukannya. Hatiku hancur seketika, air mata tiba-tiba mengalir, kepanikan
mencuat, dan aku segera berlari menggendong Lila menuju rumah sakit. Hal yang
tidak akan dirasakan orang yang belum pernah kehilangan orang yang berharga
baginya, hatinya hancur. Dan itulah yang kurasakan saat melihat Lila berdarah
tak berdaya di jalanan. Aku merasa hancur... dan tidak ingin kehilangannya.
Kecelakaan itu, hal yang tidak pernah
nyata dalam hidupku. Dan ketika ia hadir dan hampir merenggut adikku, membuatku
mengerti perasaanku sesungguhnya. Aku menyayangi adikku, ya, dia adikku. Lila adalah adikku.
Dan disinilah aku, diruang perawatan,
menggenggam jari mungil Lila, dan menantinya membuka mata kembali. Menyesali
keangkuhanku. Kepergianku dari rumah nenek membuat Lila kabur mencariku, dan
saat tiba di persimpangan jalan, ia yang belum bisa menyebrang sendiri akhirnya
terserempet mobil.
Jemari kecil Lila bergerak. Aku segera
kembali ke alam sadarku. Perlahan ia membuka matanya dan melihatku yang sedari
tadi menggenggamnya. Ia tersenyum. Dan air mataku meleleh kembali.[]
Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, just
stay this little
Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, it
could stay this simple
I wont let nobody hurt you, wont let no one break your heart...
Alunan lirik tersebut menghancurkanku.
Kau bahkan masih kecil, Lil. Dan kau terluka olehku, kakakmu sendiri. Air
mataku hampir jatuh kembali.
“Rady! Jangan menangis!” ujar Lila
yang menatapku dengan mata bulatnya. Aku tersenyum. Dia juga tersenyum.
“Lil, apa cita-citamu?” tanyaku sambil
memasukan sesendok teh padanya.
“Menjadi adikmu,” jawabnya tegas
dengan senyum khasnya. Namun perlahan senyumnya hilang melihat ekspresiku yang
tak bergeming. “Boleh?” tanyanya dengan sedih.
2 komentar:
waaa so swit fai :')
makasi baniii hhe *blushing*
Posting Komentar