Comments

Selasa, 24 Juli 2012

To Be Your Sister


BRAK!!!


Pintu kamarku menutup keras. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benakku. Sedih, kesal, bingung, tidak terima, tidak siap, dan semua rasa yang tidak menyenangkan lainnya. Aku tahu benar sikapku salah. Tapi entah mengapa, aku sering melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatiku. Dan sudah pasti ayahu kecewa padaku.

“Rady!” ayahku memanggil. “Kau sudah berjanji akan melakukannya kali ini. Kau tidak bisa selamanya melarikan diri.”

Aku tahu itu. Tapi aku tidak siap. Belum siap.

“Kau tidak akan siap kalau kau tidak mencobanya sekarang,” seru ayahku seolah telah membaca pikiranku.

Pada akhirnya aku membuka pintu kamarku. Terlihat lelak paruh baya yang berdiri di depan kamarku, ayahku, yang sudah berulang kali memintaku mengunjungi rumah nenek. Tidak, tidak hanya mengunjungi nenekku. Ke rumah nenek berarti menemui seorang pembunuh. []


Mobil kami melaju cepat menuju pedesaan tempat nenekku tinggal. Pepohonan berbaris di sepanjang jalan. Aku membuka jendela mobil, menghirup udara pegunungan yang begitu segar. Angin diluar bertiup dengan sunyi, sesunyi isi mobil ini. Tak sepatah katapun keluar dari mulut ayah maupun aku.

Aku begitu gugup. Tapi aku yakin ayahku lebih gugup menghadapi hari ini. Mengingat bagaimana masa lalu keluargaku, masa laluku. Jika ada pilihan yang lebih baik, aku yakin beliau tidak akan memilih tindakan beresiko ini. Namun aku yakin, beliau berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku sudah cukup dewasa untuk melakukan pertemuan ini.

Dan rumah mungil dengan halaman dan kebun yang begitu luas mulai terlihat. Perlahan mobil terparkir di depan rumah mungil milik nenekku. Seorang gadis kecil melompat dari pangkuan nenekku yang sedang duduk di teras rumahnya. Gadis itu berambut ikal, dikuncir dua, dan aku tak sanggup melihat wajahnya.

“Rady, kau tahu apa yang harus kau lakukan,” ucap ayahku sebelum keluar dari mobil.

 Dan gadis itu menghambur ke pelukan ayahku saat beliau turun dari mobil.[]


“Sudah lama sekali,” ucap nenekku seraya memelukku erat. Aku balas memeluknya. Ya, sudah terlalu lama aku tidak bertemu nenek. Nenek terlihat jauh leih tua dari sejak terakhir aku melihatnya.

“Aku merindukan nenek,” kataku jujur. Kami melepaskan pelukan dan saling tersenyum.

“Hai, Rady,” panggil gadis kecil dalam gendongan ayahku. Barang sedikitpun aku tidak mampu menatapnya.

Beruntungnya, ayahku menyadari kekakuan sikapku. Dan sebelum hal buruk terjadi, ayah segera mengajak kami menuju kebun. Seperti saat aku kecil, setiap berkunjung, nenekku selalu menyiapkan makan siang bersama di kebun, sambil menikmati alam katanya. Tak ada yang berbeda, kecuali tak ada ibuku disana.

Makan siang ini tak berbeda seperti saat bertahun-tahun lalu. Tidak pernah sepi. Selalu ada tawa, canda, juga cerita. Tak berbeda, kecuali, bukan lagi aku yang bercerita dan membuat ayah dan nenek tertawa. Tapi gadis kecil itu. Dan hatiku terasa hampa. Sepi.

“Saat aku bilang pada teman-temanku aku punya kakak laki-laki, mereka semua iri padaku. Soalnya mereka kebanyakan tidak punya kakak, atau kakak mereka perempuan,” gadis itu bercerita penuh semangat. Dan sangat mampu membius perhatian ayah dan nenekku. “Lalu aku bilang, karena aku punya kakak laki-laki, dia akan selalu melindungiku,” lanjutnya sambil tersenyum. Kemudian sunyi.

Aku merasakan mata gadis itu menatapku yang tak bicara ataupun mengekspresikan sesuatu.

“Ayah, kenapa Rady diam saja dari tadi?” tanyanya. Ayahku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Rady, kau kok gak bicara apapun? Kau tak suka aku ya?" gadis itu menatapku tajam.

 Aku tetap tak berani memandang pemilik suara mungil itu. Tak juga berkata sepatah katapun. Dan ayah mulai memandangku dengan wajah marah.

“Rady, Lila mengajakmu bicara. Kenapa kau diam saja?” suaranya terdengar menahan amarah.

Dan aku mulai memberanikan diri memandang wajah mungil disana. Wajah yang begitu membuatku kembali membencinya. Wajah yang perlahan berhasil membuatku mengurungkan niat untuk mulai menyayanginya. Dia... terlalu mirip ibuku. Begitu miripnya hingga mengingatkanku pada kejadian itu. 

Delapan tahun silam...
Rady kecil berumur sepuluh tahun. Sudah cukup tua usia Ibunya untuk hamil lagi saat itu. Rady kecil begitu bahagia ketika mengetahui ibunya hamil. Artinya ia akan memiliki adik, seperti teman-temannya yang lain. Nantinya akan ada yang bisa ia ajak bermain, berbagi mainan, ataupun berbagi kue. Dan ketika ia tahu kemungkinan adiknya adalah perempuan, ia begitu bahagia. Pasti adiknya akan mirip dengan ibunya, pikirnya. Hingga tiba saat ibunya harus melahirkan, lendir bercampur darah mulai terlihat, dan ibunya mulai merasa perutnya sakit. Mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Saat ibunya memasuki kamar bersalin, Rady kecil terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi. Berjam-jam menunggu diluar sendirian, karena ayahnya menemani ibunya di dalam kamar bersalin. Ia menutup wajahnya dan hanya bisa berdoa. Dan suara tangispun terdengar. Adiknya telah lahir. Ia segera bangkit dan mendekati pintu kamar bersalin ibunya. Lama, dan membuatnya mulai takut. Kemudian menangis...ketika akhirnya ayahnya keluar dan segera memeluknya. Ibunya meninggal.....


Tanganku mulai mengepal, juga menahan air mata. Aku merasakan sentuhan hangat tangan nenek. Berusaha menenangkanku yang terhanyut dalam perasaan saat Lila, adikku, lahir. Terbayang kebencianku pada Lila saat mengetahui ibu meninggal setelah melahirkan gadis kecil itu. Kebencian itu  membuatku gila, yang sangat ingin mengakhiri hidup adik kecil yang dulu sangat kunantikan. Yang tergila adalah ketika aku nekat membawa pisau mendekati Lila, dan ayahnya melihat kejadian itu. Dan segera setelah itu Lila dibawa pergi ke rumah nenek.  Hidup terpisah dariku mungkin memang yang terbaik bagi Lila. Juga bagiku.

“Rady! Inikah yang dilakukan seorang kakak pada adik yang delapan tahun tak pernah ditemuinya? Sampai kapan kau tidak dewasa seperti ini?” ayah membentakku.

Tiba-tiba air mataku meleleh. Aku berlari ke dalam rumah nenek dan melupakan makanan di meja makan. Aku berusaha untuk menahan tangisku. Aku tahu saat ini ayah sangat marah padaku. Dan aku mendengar ucapan Lila di luar.

"Ayah, begitu bencikah Rady padaku? Aku gak tahu salahku. Bahkan aku ga diberi waktu untuk tahu apa salahku. Aku gak pernah minta ibu melahirkanku. Tapi aku ga bisa memilih ibuku sendiri...” suara Lila diiringi tangis yang begitu membuatku merasa seperti orang tak berperasaan.

"Lila.." ayah terdengar menenangkan Lila.

"Ayah, ini gak adil. Apa Rady marah karena aku menyebabkan ibu meninggal? Tapi Rady masih bisa bertemu ibu. Sedangkan aku tidak pernah...hiks..hiks..apa dia pernah  memikirkan perasaanku? Aku sangat sayang pada Rady, Ayah.."

Nenek menghampiriku. Mengelus bahuku dari belakang. Dan aku hanya bisa tertunduk menangis. Entah apa yang aku rasakan. Apakah aku benar-benar membenci Lila? Apakah aku sedih mendengar ucapannya tadi? Aku tidak mengerti.

Aku bangkit, “Nek, aku minta waktu untuk sendiri... Aku akan berjalan-jalan di luar,” kataku lembut.[]


Langkahku perlahan menyusuri jalan dan mulai menjauh dari rumah nenek. Memikirkan sikapku. Aku tahu tak seharusnya aku begini. Aku telah berjanji akan merubah sikapku pada Lila. Tapi semua rencana itu hancur seketika saat meilhat wajanya. Seakan dia itu ibu. Dan itu membuatku semakin berat untuk memulai menyayangi Lila. Semakin berat menganggap pembunuh itu sebagai adikku.

Duk. Bola plastik muncul dihadapanku. Dan satu dari kerumunan anak kecil di sebuah lapangan menghampiriku. Ia tampak ragu ingin mengambil bola itu. Aku berjongkok dan memberikan bola tersebut pada bocah itu.

“Kau mirip temanku,” ujarnya, “ tapi lebih mirip ayah temanku,” lanjutnya sambil menatapku.

“Benarkah?”

Bocah itu mengangguk yakin. “Namanya Lila. Katanya ia punya kakak laki-laki, mungkin dia mirip sepertimu. Dan Lila bilang, kakaknya baik dan pasti akan menolong Lila jika sesuatu yang buruk terjadi,” ujarnya. Lalu berlari kembali kepada teman-temannya.

Aku berdiri kembali. Memikirkan kata-kata yang diucapkan teman Lila barusan. Betapa ironisnya perkataan teman Lila dengan apa yang sesungguhnya kulakukan. Aku tidak menolong Lila, aku malah mungkin meluakainya. Sangat kejamkah aku? Aku semakin tidak mengerti apa yang kurasakan terhadap Lila.

Tanpa terasa aku telah jauh melangkah kembali menuju rumah nenek. Dan entah apa yang terjadi, ada kerumunan orang di sebuah persimpangan jalan. Dan aku tak berhasil untuk pura-pura tidak tahu. Kudekati kerumunan itu, ternyata kecelakaan. Begitu ramainya sampai aku sulit melihat korbannya. Samar-samar terlihat tangan kecil terkepal. Anak kecil? Aku segera meneroboskan tubuhku ke dalam kerumunan itu dan... LILA! []


Kecelakaan itu layaknya sebuah cerita dalam drama, sebuah lirik dalam lagu, sebuah kisah yang tak pernah benar-benar nyata. Sunyi. Tapi ini nyata. Dingin. Hening. Namun tidak sepi.

Selayaknya kisah, yang tak pernah nyata dalam hidupmu. Namun ketika ia sungguh hadir, begitu nyata, kau bahkan mampu berbuat berkebalikan dengan kata hatimu. Atau malah, kau akan mengetahui perasaanmu yang sesungguhnya.

Aku tidak mampu mendengar suara ayah maupun nenek, tidak juga sentuhan mereka. Hanya saja aku tahu mereka ada, dan mungkin tak percaya dengan apa yang kulakukan. Aku juga bahkan tak percaya aku melakukannya. Hatiku hancur seketika, air mata tiba-tiba mengalir, kepanikan mencuat, dan aku segera berlari menggendong Lila menuju rumah sakit. Hal yang tidak akan dirasakan orang yang belum pernah kehilangan orang yang berharga baginya, hatinya hancur. Dan itulah yang kurasakan saat melihat Lila berdarah tak berdaya di jalanan. Aku merasa hancur... dan tidak ingin kehilangannya.

Kecelakaan itu, hal yang tidak pernah nyata dalam hidupku. Dan ketika ia hadir dan hampir merenggut adikku, membuatku mengerti perasaanku sesungguhnya. Aku menyayangi adikku, ya, dia adikku. Lila adalah adikku.

Dan disinilah aku, diruang perawatan, menggenggam jari mungil Lila, dan menantinya membuka mata kembali. Menyesali keangkuhanku. Kepergianku dari rumah nenek membuat Lila kabur mencariku, dan saat tiba di persimpangan jalan, ia yang belum bisa menyebrang sendiri akhirnya terserempet mobil.

Jemari kecil Lila bergerak. Aku segera kembali ke alam sadarku. Perlahan ia membuka matanya dan melihatku yang sedari tadi menggenggamnya. Ia tersenyum. Dan air mataku meleleh kembali.[]


Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, just stay this little
Oh darling don’t you ever grow up, don’t you ever grow up, it could stay this simple
I wont let nobody hurt you, wont let no one break your heart...


Alunan lirik tersebut menghancurkanku. Kau bahkan masih kecil, Lil. Dan kau terluka olehku, kakakmu sendiri. Air mataku hampir jatuh kembali.

“Rady! Jangan menangis!” ujar Lila yang menatapku dengan mata bulatnya. Aku tersenyum. Dia juga tersenyum.

“Lil, apa cita-citamu?” tanyaku sambil memasukan sesendok teh padanya.

“Menjadi adikmu,” jawabnya tegas dengan senyum khasnya. Namun perlahan senyumnya hilang melihat ekspresiku yang tak bergeming. “Boleh?” tanyanya dengan sedih.

Aku tersenyum. Kubelai rambutnya, “tentu saja kau adikku,” senyumnya kembali. “Selamanya...”[] (fy)



2 komentar:

Posting Komentar

Viewers


Followers

Blogger Com

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources

Blogger Indonesia