Aku mau pulang!
Itulah yang aku pikirkan setelah dari jam 9 pagi berada di
rumah sakit ini. Ya Allah ingin sekali aku menangis menghadapi semua ini
sendirian. Aku yang hanya berniat mendaftarkan diriku untuk operasi hari senin,
malah dibuat menunggu kamar yang kosong di sabtu yang mendung ini. Ah, aku
kesal, dan yang terjadi sekarang aku menunggu sahabatku datang untuk
‘menjemputku’.
“Rubi, maaf ya, aku terlambat datang kemari. Kau tidak
apa-apa?” akhirnya sahabatku datang juga.
“Fir, sebaiknya kita cepat pergi dari sini! Tadi seorang
perawat mengizinkan aku kabur dari sini” aku separuh tersenyum, separuh panik.
Dan kamipun bergegas pergi dari rumah sakit. Aku benci
keadaan ini, aku terjebak sebagai pasien dengan status mondok di rumah sakit
ini. Sedangkaan aku tak membawa persiapan apapun dan orang tuaku belum datang.
Dan, siapa yang mau melewatkan malam tanpa kawan di rumah sakit? Dan akupun
kembali ke kos.
Ah, bahagianya aku bisa kembali ke kosan. Aku segera
mengerjakan tugas-tugas kampusku yang menumpuk. Namun entah mengapa hatiku
tidak tenang. Dan benar saja firasatku. Nomor yang tidak dikenal menghubungi
ponselku.
“Halo,” sapaku.
“Mbak, ada dimana sekarang?” seperti dugaanku, itu suara
perawat dari rumah sakit.
“Di kos, Bu. Saya kan belum membawa barang-barang saya,
nanti saya segera kembali ke rumah sakit,” kataku berbohong. Siapa yang mau
kembali setelah kabur dari rumah sakit malam-malam begini.
“Gimana toh mbak? Statusnya sudah mondok kok malah ke kos,
tadi dkternya sudah datang, cepet kemari.”
Aku hanya berpura-pura akan kesana. Tentu saja aku tidak
akan melakukannya. Aku sudah memutuskan untuk tidak menginap di rumah sakit
malam ini. Dan saat hampir tengah malam, ponselku berdering lagi. Kali ini
suara perawat itu semakin terdengar kesal. Ia bilang dokter sudah tiga kali ke
kamarku dan tidak menemukanku disana.
Oh, ini menyebalkan, dan aku segera menyiapkan tasku dan
bergegas ke rumah sakit dengan penjaga kosku. Aku tergesa-gesa menuju kamarku
yang agak sulit diingat. Sesampainya di kamar rumah sakit, aku mengirim pesan
kepada perawat tersebut bahwa aku telah datang.
Tak lama kemudian, dokterpun datang.
“Mbak, ada alergi?” tanya dokter tersebut.
“Tidak,” jaabku.
“ada riwayat asma?”
“tidak”
Dokter tersebut terus menulis dalam form yang ia pegang.
“Baik. Mbak, hari senin nanti, mbak akan dibius total, dan
ada resiko-resiko tentunya dalam setiap tindakan. Resiko bisa terkena jantung,
paru, atau kematian, namun sangat jarang terjadi,” kata dokter tersebut dengan
tenang.
KEMATIAN? Oh, aku benar-benar tidak habis pikir, apa yang
harus kulakukan? Aku sangat takut, dan aku ingin kembali ke kos. Aku diminta
menandatangani form persetujuan operasi dari rumah sakit. Dan dokter tersebut
pergi. Aku ingin menangis, aku tidak mau memikirkan soal kematian walau pikiran
itu terus menghantuiku.
Kulirik jam ditanganku, sudah hampir tengah malam. Kurasa
dokter tak akan berkunjung lagi malam ini. Dan akupun meluncur kembali ke kosan
dengan taksi. Begitu tiba di kos, aku segera mematikan ponselku agar tak lagi
dihubungi perawat. Aku segera berusaha tidur, walau ternyata sangat sulit ntuk
lelap sempurna.[]
Aku seorang mahasiswi kedokteran, dan betapa aku syok saat
aku terdiagnosis tumor jinak, fibroadenoma mammae. Ya, aku tau ini bukan
kanker, aku tau ini jinak, namun aku sebagai manusia yang mendengar dirinya
terkena tumor, aku lemas. Aku sendiri sangat mengerti bahwa tumor ini tidak
berbahaya. Namun entah mengapa aku sangat terpukul. Bayangkan, dari seringnya
insidensi penyakit ini, mengapa aku termasuk yang mengalaminya?
Saat aku memutuskan untuk melakukan operasi pengangkatan
tumor, sebagian hatiku mengatakan ya, namun sebagian lagi takut. Aku belum
pernah di rawat di rumah sakit, apalagi dioperasi. Aku membayangkan diriku
sendiri dibius total dan tak sadarkan diri lagi untuk selama-lamanya. Oh
tidaaaak!!!! Aku takut memikirkannya. Dan.. sesungguhnya seharusnya aku
berpikir positif.[]
Minggu malam di rumah sakit, aku telah disini bersama orang
tuaku. Aku semakin tak karuan. Hatiku bergemuruh dan aku berusaha ceria walau
hatiku cemas. Hei! Besok aku bener-benar akan di operasi! Ah aku ingin
menghentikan semua ini rasanya. Dan yang kubutuhkan adalah menyemangati diriku
sendiri. Aku teringat temanku yang juga pernah mengidap tumor yang sama, dia
hidup sampai sekarang. Kawan ayahku, anak kawan ayahku, bahkan sepupuku, yang
juga mengalami hal yang sama dan telah menghadapi operasi, hidup hingga saat
ini.
Aku memanfaatkan waktu kosong di rumah sakit dengan mengakses
internet. Aku mencari pengalaman orang-orang yang yang pernah mengalami hal
serupa denganku. Dan ternyata mereka semua baik-baik saja sampai saat ini. Aku
mulai bersemangat, walau masih cemas.
Malam ini para perawat mulai memberiku obat, obat untuk
membersihkan saluran cerna. Akupun diminta untuk puasa dari malam itu hingga
operasi nanti. Saat tidur, aku berharap tidak bermimpi apa-apa, takut
kalau-kalau malah mimpi buruk. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi semua
ini.
Dan esokpun tiba. Jadwal operasiku jam 9 pagi. Perawat mulai
memasang infus di tangan kananku. Ini pertamakalinya pula aku dipasang infus.
Ya Allah, aku mencoba mengambil sisi positifnya, suatu saat nanti aku akan
melakukan hal ini pada pasienku, dan sekarang aku merasakannya sendiri terlebih
dahulu. Perawat datang lagi, ia
melakukan injeksi subkutan di tangan kananku. Dan...sakiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!!
ingin teriak, namun aku hanya berusaha tegar. Yaampun pantas saja bayi menangis
saat diberi imunisasi BCG! Suntikan subkutan sangat memilukan!
Pukul 9 kurang, aku sudah memakai baju operasiku. Hatiku semakin
tak karuan. Aku harap semua ini akan berakhir ketika tiba-tiba tumorku bisa
hilang sebelum operasi ini terjadi. Oh, dan nampaknya itu tidak terjadi.
Kasurku mulai dibawa perawat ke instalasi bedah sentral. Aku ingin menangis
melihat orang tuaku, kuharap ini bukan yang terakhir kalinya aku menatap
mereka.
Waktu terus berjalan dan aku mulai memakai penutup kepala.
Dan aku memasuki ruang operasi. Dokter-dokter itu baru saja melakukan operasi
juga terhadap orang lain. Aku menatap ruang ini, besar, cukup dingin, terlalu
banyak alat yang membuatku merasa sedang di penjagalan. Rasanya ingin kabur
saat ini juga! Namun aku berusaha setenang mungkin. Aku mulai berdzikir dan
berdoa kepada Allah tanpa henti. Detak jantungku mulai terdengar lewat monitor.
Dokter-dokter sudah berada di sekelilingku.
“Siap ya, dik. Kita mulai..” seorang dokter dibelakangku
berkata sambil menyiapkan penutup hidung disampingku.
Dan....[]
Mataku tiba-tiba terbuka. Aku masih di ruang operasi.
“Ya, sudah selesai..” dokter-dokter silih berganti
mengatakan hal itu.
Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, dan....
sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt sekali!!!!! Oh ini sungguh menyakitkan! Aku
sadar, saat bius tadi dibuka, aku merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana
tidak, tubuhmu disayat-sayat! Tentu sangat menyakitkan. Tak kuasa lagi, akupun
menangis.[]
Itulah yang selalu aku ingat saat malas datang melanda.
Allah telah menyelamatkanku, Allah memberiku kesempatan untuk tetap hidup. Dan aku
bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam proses pembelajaranku. Aku yang dulu
tidak mau menjadi dokter, kini dengan pengalaman ini, bukan tidak mungkin aku
akan menjadi dokter bedah. J